UPT. Al-Islam & Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Pontianak

BENALU-BENALU RAMADHAN


Ramadhan adalah aroma kebahagiaan telah tercium oleh orang-orang beriman. Karena bagi mereka Ramadhan adalah bulan yang paling dinanti. Di dalamnya ada ampunan, rahmah, kebaikan dan juga amal sholeh. Terlebih lagi Al Qur’an yang mulia turun di bulan itu. Dan malam yang lebih baik dari seribu bulan, tak akan ditemui selain dalam bulan Ramadhan.

Di balik suka cita menyambut bulan mulia tersebut ternyata ada beberapa hal yang bisa merusak makna Ramadhan. Hal-hal yang seperti benalu bagi keagungan bulan yang dirindu. Kekeliruan-kekeliruan yang merusak makna ibadah kita. Dan perbuatan yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam. Kesalahan-kesalahan tersebut ada yang terjadi sebelum bulan Ramadhan dan ada yang terjadi selama bulan Ramadhan.
Sebelum Ramadhan ada sebagian orang Islam yang mengadakan minggu ceria. Konon katanya perpisahan terakhir dengan segala kemaksiatan yang biasa dilakukan. Mereka pergi berekreasi dan bersenang-senang sepuas hati. Dengan anggapan bahwa ketika bulan Ramadhan mereka tidak akan lagi bisa melakukan hal-hal tersebut. Jadi mumpung masih bisa, lebih baik dipuas-puaskan.
Hal itu tentu saja keliru. Apa tujuan kita berpuasa? Apakah puasa menjadi kerangkeng bagi kebahagiaan kita? Kalau puasa memenjarakan hawa nafsu, tentu saja itu benar. Namun bukankah hawa nafsu adalah sisi gelap manusia? Yang jika diperturutkan akan menggiring ke dalam jurang kehinaan. Lagi pula hawa nafsu tidak akan pernah terpuaskan. Barang siapa yang mengikutinya, ibarat meminum air laut. Tak akan pernah hilang dahaga. Yang ada malah haus yang semakin menyiksa. Sungguh tepat jika hawa nafsu memang harus dikendalikan.
Kesalahan lain yang kerap dilakukan adalah menentukan waktu ziarah kubur hanya menjelang Ramadhan saja. Padahal Rasulullah tidak pernah mencontohkan hal tersebut. Memang ziarah kubur dianjurkan. Karena hal tersebut mengingatkan kita akan kematian. Namun Rasulullah tidak pernah mematok hal tersebut dilakukan hanya menjelang bulan Ramadhan. Sebab hal itu tadi, ziarah kubur dimaksudkan untuk mengingat kematian, bukan yang lain. Malah sebenarnya Rasulullah paling sering berziarah kubur di tengah malam. Lebih khusu’ dan tenang. Hal yang mungkin menakutkan bagi umat Islam sekarang ini.
Ada pula kaum muslimin yang mencari guru atau orang alim untuk mendo’akan arwah leluhur. Allahu’alam dari mana cikal bakal anggapan itu berasal. Konon setiap menjelang Bulan Ramadhan arwah-arwah itu harus diberi makan. Maka muncullah berbagai macam sesaji dalam berbagai versi. Ada yang menyediakan pisang, ayam, nasi kuning, nasi minyak dan sesaji lain. Tak pernah ketinggalan dupa dan asapnya.
Harus kita sadari bersama bahwa arwah itu bukan lagi makhluk fisik yang membutuhkan nutrisi seperti makhluk hidup. Mereka memang butuh dido’akan tetapi tidak perlu menghidangkan sesaji. Lagi pula akan lebih baik sekiranya yang mendo’akan mereka adalah anak-anaknya sendiri. Karena Rasulullah yang menjamin bahwa salah satu pahala yang tidak pernah terputus adalah do’a anak yang sholih. Jadi alih-alih kita memanggil orang lain lebih baik kita yang mendo’akan orang tua kita sendiri.
Kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin tak berhenti sampai menjelang Ramadhan. Saat Ramadhan pun masih banyak kekeliruan yang terjadi. Diantaranya adalah menyia-nyiakan waktu tanpa melakukan ibadah. Sebagian besar orang lebih suka tidur dari pada beribadah. Alasannya sih karena tubuh lemas dan tak bertenaga. Tapi tentu saja hal tersebut bukan sebuah pembenaran untuk mengisi Ramadhan dengan sikap bermalas-malasan.
Khusus pada kawula muda, Ramadhan identik dengan ngabuburit. Sembari menunggu waktu berbuka maka dicarilah alternatif kegiatan pembunuh waktu. Bagus jika yang dipilih adalah membaca Al Qur’an, berdzikir atau membaca buku. Justru yang mereka lakukan adalah berjalan-jalan tanpa arah dan tujuan. Mendengarkan musik. Menonton acara gossip atau bermain domino dan monopoli. Sungguh kelalaian yang tak disadari.
Tidakkah pernah sampai kepada mereka bahwa di akhirat kelak waktu yang kita punya akan dimintai pertanggung jawaban. Dan apakah mereka tidak pernah mengetahui bahwa Ramadhan adalah bulan bertabur amal kebaikan. Balasan bagi amalan di bulan Ramadhan berkali lipat jika dibandingkan di bulan lainnya. Sungguh amat merugi jika kesempatan emas ini terbuang sia-sia.
Saat berbuka puasa ada orang yang kurang mampu mengendalikan nafsunya untuk menjejali perutnya dengan berbagai macam makanan dan minuman. Bahkan, sejak senja belum memerah dendam itu telah berkobar. Dendam untuk menyantap habis es buah, kolak, serabi, cendol, es kolang-kaling dan berbagai macam makanan lainnya. Jika saja makanan itu bisa bicara, mereka mungkin akan berteriak ketakutan melihat mata kita yang nanar menatap mereka. Rakus dan tak sabar menantikan waktu magrib tiba.
Padahal Rasulullah mengingatkan. Hendaknya anak Adam mengisi perut mereka 1/3 bagian dengan makanan, 1/3 bagian dengan air dan 1/3 bagian dengan udara. Itulah adalah kombinasi terbaik yang akan menjaga homeostatis dalam tubuh kita. Memaksimalkan proses detoksifikasi dan menyehatkan badan.
Dampak negatif dari berlebih-lebihan saat berbuka adalah kita jadi malas beribadah. Tentu saja, karena kalau sudah kekenyangan bawaannya mau tidur. Sholat Tarawih besok saja. Tidur tidak bisa ditunda. Apalagi kalau sampai sakit perut. Tambah-tambah malasnya untuk beribadah. Apalagi sudah ada alasan, yaitu sakit. Sehingga ketika melalaikan ibadah utama rasa bersalah itu hilang entah kemana. Padahal siapa sih yang bikin penyakit itu? Keserakahan kita juga kan sumbernya.
Ada juga sebagian orang yang memilih menyegerakan sahur kemudian tidur lagi. Jam dua sudah makan kemudian kembali ke peraduan. Melanjutkan mimpi yang tertunda. Yang dicontohkan Rasulullah adalah mengakhirkan sahur. Hingga menjelang subuh. Dan pada hal seperti inilah terdapat keberkahan dan pengampunan dosa. Jadi pilih mana, melanjutkan pembentukan pulau iler atau berjuang memperoleh pengampunan?
Yang paling menyedihkan adalah fenomena yang terjadi di masjid-masjid menjelang idul fitri. Pada awal Ramadhan shaf sholat tarawih itu begitu penuh dan rapat. Sehingga banyak orang yang tidak kebagian tempat karena sesaknya. Namun ketika waktu berlalu, maka shaf-shaf sholat itu menyusut hingga tersisa satu atau dua baris jamaah saja. Sampai-sampai jumlah tiang masjid jauh lebih banyak dari jumlah jamaahnya.
Kemanakah mereka? Menjelang Idul Fitri tempat sholat mereka berpindah. Tak lagi dimasjid tetapi di pasar dan mall. Sibuk berburu pakaian baru. Atau sibuk mengurus kue di dapur. Persiapan idul fitri katanya. Padahal, coba bertanya di dalam hati. Idul Fitri itu untuk siapa? Kemenangan itu milik siapa? Layakkah kita merayakan kemenangan padahal kita tak pernah berjuang. Atau pantaskan kita menyambut idul fitri dengan suka cita padahal selama Ramadhan masih banyak kelalaian dan ketidakmaksimalan yang kita lakukan? Tanyakan pada hati kita.
Maka sekiranya hati itu jernih dia akan jujur berkata tak layak kita mempersiapkan idul fitri jika Ramadhan kita penuh dengan benalu. Sebab, tak akan ada yang tertinggal untuk kita selain seremonial belaka. Tanpa makna. Tanpa kebaikan.
Jadi, mumpung belum terlambat lebih baik kita membumi hanguskan semua benalu-benalu Ramadhan. Agar Ramadhan kali ini lebih baik dari Ramadhan yang telah berlalu. Dan tak ada penyesalan sebab menyesal itu selalu datang terlambat.
Wallahu a’alam.

Sumber; Yessy Kurniati di www.kulinet.com

2 komentar:

  1. maaf ini sepertinya tulisan saya yang dimuat di kulinet.com. Tolong kita cantumkan sumber dan penulisnya...saya tidak keberatan asal penulis asli dicantumkan. terima kasih

    BalasHapus
  2. oh iya, mf bu, lupa iya skrg sy cantumkan sumbernya, tp tampaknya akun kelinet.com sudah tak aktif

    BalasHapus

Sukkron