Al-Qur'an meninggikan martabat dan memuliakan bulan-bulan
tertentu dengan janji fadilat berganda atas mukmin yang menjauhi kemungkaran
dan kemaksiatan sesama manusia , apalagi terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Namun, anggapan Safar sebagai bulan sial dengan mengadakan berbagai acara
ritual untuk menolak bala' antara adat, budaya dan amalan khurafat serta
takhayul masih membelenggu beberapa umat Islam.
Amalan mandi Safar untuk tolak bala' dan menghapus dosa
dikatakan berkait dengan kepercayaan penganut Hindu melalui ritual Sangam yang
mengadakan upacara penghapusan dosa melalui pesta mandi di sungai.
Tiada amalan istimewa atau tertentu yang dikhususkan untuk
dirayakan pada bulan Safar baik berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, sunnah
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam, sahabat maupun para salafushshalihin
(para tabie). Amalan sunat di bulan Safar adalah sama seperti amalan-amalan sunat
harian yang diamalkan sepanjang waktu di bulan-bulan yang lain.
Kepercayaan mengenai perkara sial atau bala' pada sesuatu
hari, bulan dan tempat itu merupakan kepercayaan orang jahiliyah sebelum
kedatangan Islam. Malah upacara mandi sungai atau pantai di bulan Safar
berpuncak dari kepercayaan nenek moyang terdahulu dan ada kaitan dengan upacara
keagamaan Hindu.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda (yang
artinya) :
"Tiada wabah dan tiada keburukan binatang terbang dan
tiada kesialan bulan Safar dan larilah (jauhkan diri) daripada penyakit kusta
sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa."(HR. Bukhari).
Pergerakan matahari dari siang hingga malam mengakibatkan
adanya pergantian dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Dan
sampailah kita pada Bulan Shafar. Bulan Safar (Shofar, Sapar) adalah salah satu
bulan yang ada di Kalender Hijriah atau Kalender Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Artinya:
"Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan
pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Yunus [10]:6).
Bulan Safar adalah bulan kedua setelah Muharam dalam
kalendar Islam (Hijriyah) yang berdasarkan tahun Qamariyah (perkiraan bulan
mengelilingi bumi).
Menurut bahasa Safar berarti kosong, ada pula yang
mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab
zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong)
untuk berperang ataupun bepergian jauh.
Ada pula yang menyatakan bahwa nama Safar diambil dari nama
suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah
pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari
adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Itulah sebabnya mereka
menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan. Pendapat lain
menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian
perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Menganggap sial bulan Shafar sekaligus termasuk salah satu
jenis tathayyur yang terlarang. Itu termasuk amalan jahiliyyah yang telah
dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam. Menganggap sial bulan Shafar termasuk
kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan (Shafar) tersebut
seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan.
Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi
dengan taqdir-Nya.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda:
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada
thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan
Shafar.”
[HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad
(II/327)]
Hadits ini
telah disepakati keshahihannya.
Kepercayaan atau mitos/tahayul tersebut langsung dibantah
oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam;
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi bersabda,
“Tidak ada penyakit menular (yang berlaku tanpa izin Allah),
tidak ada buruk sangka pada sesuatu kejadian, tidak ada malang pada burung
hantu, dan tidak ada bala (bencana) pada bulan Safar (seperti yang
dipercayai).”
Namun kepercayaan bahwa Safar bulan sial atau bulan bencana
masih saja dipercaya sebagian umat. Padahal, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa
sallam sudah menegaskan mitos itu tidak benar.
Kesialan, naas, atau bala bencana dapat terjadi kapan saja,
tidak hanya bulan Safar, apalagi khusus banyak terjadi pada bulan Safar. Allah
Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan
Artinya
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami
melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami,
dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."
(QS. At-Taubah [9]:51)
Awal mula kesyirikan yang menganggap bahwa adanya hari dan
bulan yang baik dan yang buruk berawal dari adat jahiliyah yang mereka terima
dari tukang-tukang sihir ( kahin ). Dan bulan shafar ini mereka masukan ke
dalam bulan yang penuh dengan malapetaka. Beberapa jenis keyakinan syirik yang
bertentangan dengan Islam yang terjadi pada bulan Safar adalah:
1. Masyarakat Arab Jahiliyah menganggap bulan
shafar sebagai bulan penuh kesialan.
( Shahih Bukhari no. 2380 dan Abu Dawud no. 3915 ).
2. Masyarakat Arab Jahiliyah juga meyakini
adanya penyakit cacing atau ular dalam perut yang disebut shafar, yang akan
berontak pada saat lapar dan bahkan dapat membunuh orangnya, dan yang diyakini
lebih menular dari pada Jarab ( penyakit kulit / gatal ).
( Shaih Muslim : 1742, Ibnu Majah : 3539 )
3. Keyakinan masyarakat Arab Jahiliyah bahwa
pada bulan shafar tahun sekarang diharamkan untuk berperang dan pada shafrar tahun
berikutnya boleh berperang.
( Abu Dawud : 3913, 3914 ).
4. Keyakinan sebagian mereka yang menganggap
bahwa umrah pada bulan-bulan haji termasuk bulan Muharam ( shafar awal ) adalah
sebuah kejahatan paling buruk di dunia.
( Bukhari no. 1489, Muslim : 1240, 1679 ).
5. Sebagian orang-orang di India yang
berkeyakinan bahwa tiga belas ( 13 ) hari pertama bulan shafar adalah hari naas
yang banyak diturunkan bala’.
(Ad-Dahlawi, Risalah Tauhid )
6. Keyakinan sebagian umat Islam di Indonesia
bahwa pada setiap tahun tepatnya pada hari rebo wekasan Alloh menurunkan 320.00
( tiga ratus dua pulun ) malapetaka atau bencana.
( Al-Buni dalam Kitab Al-Firdaus serta Faridudin dalam
Kitab Awradu Khawajah dan tokoh-tokoh sufi lainnya ).
7. Mengenai rebo wekasan ini mereka juga
berkeyakinan tidak boleh melakukan pekerjaan yang berharga atau penting seperti
pernikahan, perjalanan jauh, berdagang dan lain-lain, jika tetap dilakukan maka
nasibnya akan sial.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
Artinya:
Utusan-utusan (para Rasul) itu berkata:
"Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi
peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui
batas".
(QS. Yaa Siin [36]:19).
Islam tidak mengenal adanya hari atau bulan naas, celaka,
sial, malang dan yang sejenis. Yang ada hanyalah bahwa setiap hari dan atau
bulan itu baik, bahkan dikenal hari mulia (Jum’at) dan bulan mulia (seperti
bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah). Kalaupun memang ada kenaasan atau
kejadian yang kurang baik itu adalah takdirNya. Tidak ada hubungannya dengan
bulan yang tidak baik.
Wallahu'alam bishshawab.
1. Masyarakat Arab Jahiliyah menganggap bulan shafar sebagai bulan penuh kesialan.
BalasHapus( Shahih Bukhari no. 2380 dan Abu Dawud no. 3915 ).
_____________________________________________________________
No. Hadist: 2380 (shahih Bukhari)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi 'Abdiy dari Syu'bah dari Sulaiman dari Abu HAzim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu paha depan (kambing) atau satu paha belakangnya, pasti aku penuhi dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu paha depan (kambing) atau satu paha belakang pasti aku terima".
maaf ya mohon di cek kembali referensi hadist nya
iya pak , terima kasih atas komentarnya, akan sy cek lg referensinya
BalasHapus