UPT. Al-Islam & Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Pontianak

KEHARUSAN MENGENDALIKAN DIRI

KEHARUSAN MENGENDALIKAN DIRI
Di sini kita akan melihat dan kemudian menyadarkan diri kita masing-masing tentang bagaimana risalah kenabian itu semestinya kita jemput. Lalu itu kita pegang dengan kokoh; kita pertahankan hingga ajal menjemput kita. Itulah sesungguhnya taqwa.
Sebagai makhluk Allah, secara fitrah kita manusia ini beberapa derajat lebih tinggi kedudukannya dibanding makhluk lainnya, yakni hewan, tumbuhan dan renik. Bedanya manusia dengan binatang adalah terletak pada tindakan. Jika binatang lapar, mereka akan mencari makan, kalau perlu dengan melukai atau membunuh dan menganiaya makhluk lain. Sementara jika disakiti, dia akan marah atau mencakar sebagaimana digariskan oleh instinknya. Manakala birahi, mereka akan berusaha menyalurkannya kepada jenisnya sendiri nyaris dengan tanpa batas.
Sebaliknya, manusia bisa melawan instink dan naluri primitif lainnya. Tetapi disertai catatan: ini akan terjadi hanya kalau mau, kalau dilatih, kalau dibinasakan - dan pada akhirnya: kalau memperoleh hidayah Allah. Jika kita misalnya dipukul oleh seseorang, kita niscaya tidak langsung mencakar orang itu sebagaimana jika seekor kucing terinjak ekornya. Kita manusia bisa berpikir dulu, “Mengapa orang itu memukul saya?”.  Lalu kita mencari tahu duduk soalnya, dan baru memutuskan: apakah akan memaafkan orang itu (artinya tidak membalas), menerima dipukul (karena kita merasa bersalah entah karena apa), atau akan bertindak lain.
Dalam kehidupan keseharian, ternyata tidak sesederhana seperti makhluk Tuhan (seperti kucing) yang menerima rangsang (yaitu terinjak ekornya) seperti itu. Kita akan menerima rangsang yang lebih kompleks dari sekitar kita. Mulai dari dorongan untuk bermalas-malas sampai tekanan untuk khianat, dorongan makan yang lezat sampai godaan untuk maksiat, serta dari ingkar janji sampai pada korupsi.
Semua itu adalah rangsang kepada kita, yang harus ditanggapi dengan sepenuh iman dan akal budi. Dalam istilah “iman” itu tercakup pengertian kepercayaan dan kedudukan kepada hukum Allah, keikhlasan menerima ajaran yang dibawa Rasulullah, semangat amar makruf nahi munkar, semangat menegakkan agama Islam. Sedangkan dalam pengertian “akal budi” itu tercakup juga kecerdasan, siasat, akal sehat, kematangan berpikir, tenggang-rasa, cinta sesama, rasa malu, martabat dan kehormatan diri, dst.
Jika kita menyadari bahwa kita adalah makhluk yang diberi amanat oleh Allah untuk menjadi khlalifah di Bumi, maka satu-satunya cara adalah dengan mempedomani tuntunan-Nya. Al Quran dan As Sunah adalah rujukan terbaik bagi kita untuk menjalankan amanat Allah itu. Kita harus ingat apa yang dimuat dalam Al Quran surah Al Anfaal: 27   
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Dalam wujud detilnya, amanat Allah itu bisa berupa amanat yang diberikan atau dipercayakan kepada sesorang ditengah masyarakat. Hal ini mungkin berupa amanat untuk mendidik siswa bagi para pendidik oleh lembaga pendidikan. Bisa juga berupa amanat untuk menjadi pedagang atau saudagar yang secara langsung atau tidak langsung oleh masyarakat diberi kepercayaan memperdagangkan rupa-rupa komoditi. Atau amanat menjadi wakil rakyat dalam pengertian representasi politik. Bahkan bisa berupa amanat dalam bentuk apapun yang penunaiannya merupakan manifestasi makna “rahmatan lil alamin” karena posisinya sebagai khalifah dimuka bumi.
Namun ternyata dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan bukti betapa manusia bisa begitu rendah, hina dan terkadang juga menyedihkan atau malah memuakkan. Sesuatu hal yang diperkirakan oleh para malaikat, menjelang diciptakannya manusia oleh Allah yang termaktub misalnya dalam Surah Al Baqarah : 30   
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Mengapa semua itu terjadi? Mengapa terjadi pengingkaran terhadap amanat itu? Jawabnya: Karena manusia saat itu sedang tidak bisa mengendalikan diri. Sehingga dia jatuh kepelimbahan kehinaan, yang bisa lebih rendah dari hewan. Sampai titik ini, selayaknya kita mencermati Surah Al A’raf : 176   
Artinya: Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Idiom yang gunakan Al Quran menarik dicermati, yakni “anjing yang mengulurkan lidahnya”. Itulah gambaran sosok yang melulu mengikuti instinknya. Bawaan primitifnya adalah mengulurkan lidah seperti itu, yang tidak mampu diatasi oleh akal budinya. Jika diekstrapolasi kepada manusia, “menjulurkan lidah” di situ maknanya adalah “memperturutkan naluri primitif”, yakni melanggar aturan, sebagaimana dunia anjing yang tidak mengenal tatakrama, norma, nilai-nilai sebagaimana manusia.
Itulah sebabnya, untuk menjaga diri kita agar menjadi manusia yang sebenar-benarnya “manusia” caranya adalah menerapkan tata laku yang benar sesuai yang digariskan agama, yakni risalah kenabian yang dibawa Rasulullah saw. Allah telah menurunkan petunjuk dan metode bagi manusia untuk menemukan jalan keselamatan itu; dengan mengutus Rasul-Nya, dengan menurunkan Kitab-Nya, dengan keseluruhan sistem nilai Islam itu. Yang harus kita lakukan adalah sekuat tenaga mengatasi dorongan primitif untuk memperturutkan hawa nafsu itu, yang dalam istilah lain disebut “mengikuti dorongan setan”
Barulah dengan cara itu kita akan naik kelas menjadi “manusia yang sesungguhnya”, bukan makhluk yang memperturutkan dorongan primitif atau ‘mengulurkan lidahnya” itu.
Wallaahu a’lam.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sukkron