KEHARUSAN
MENGENDALIKAN DIRI
Di sini kita akan melihat dan kemudian
menyadarkan diri kita masing-masing tentang bagaimana risalah kenabian itu
semestinya kita jemput. Lalu itu kita pegang dengan kokoh; kita pertahankan
hingga ajal menjemput kita. Itulah sesungguhnya taqwa.
Sebagai makhluk Allah, secara fitrah
kita manusia ini beberapa derajat lebih tinggi kedudukannya dibanding makhluk lainnya,
yakni hewan, tumbuhan dan renik. Bedanya manusia dengan binatang adalah
terletak pada tindakan. Jika binatang lapar, mereka akan mencari makan, kalau
perlu dengan melukai atau membunuh dan menganiaya makhluk lain. Sementara jika
disakiti, dia akan marah atau mencakar sebagaimana digariskan oleh instinknya.
Manakala birahi, mereka akan berusaha menyalurkannya kepada jenisnya sendiri
nyaris dengan tanpa batas.
Sebaliknya, manusia bisa melawan
instink dan naluri primitif lainnya. Tetapi disertai catatan: ini akan terjadi
hanya kalau mau, kalau dilatih, kalau dibinasakan - dan pada akhirnya: kalau
memperoleh hidayah Allah. Jika kita misalnya dipukul oleh seseorang, kita
niscaya tidak langsung mencakar orang itu sebagaimana jika seekor kucing
terinjak ekornya. Kita manusia bisa berpikir dulu, “Mengapa orang itu memukul
saya?”. Lalu kita mencari tahu duduk
soalnya, dan baru memutuskan: apakah akan memaafkan orang itu (artinya tidak
membalas), menerima dipukul (karena kita merasa bersalah entah karena apa), atau akan bertindak
lain.
Dalam kehidupan keseharian, ternyata
tidak sesederhana seperti makhluk Tuhan (seperti kucing) yang menerima rangsang
(yaitu terinjak ekornya) seperti itu. Kita akan menerima rangsang yang lebih
kompleks dari sekitar kita. Mulai dari dorongan untuk bermalas-malas sampai
tekanan untuk khianat, dorongan makan yang lezat sampai godaan untuk maksiat,
serta dari ingkar janji sampai pada korupsi.
Semua itu adalah rangsang kepada kita,
yang harus ditanggapi dengan sepenuh iman dan akal budi. Dalam istilah “iman”
itu tercakup pengertian kepercayaan dan kedudukan kepada hukum Allah,
keikhlasan menerima ajaran yang dibawa Rasulullah, semangat amar makruf nahi
munkar, semangat menegakkan agama Islam. Sedangkan dalam pengertian “akal
budi” itu tercakup juga kecerdasan, siasat,
akal sehat, kematangan berpikir, tenggang-rasa, cinta sesama, rasa malu,
martabat dan kehormatan diri, dst.
Jika kita menyadari bahwa kita adalah
makhluk yang diberi amanat oleh Allah untuk menjadi khlalifah di Bumi, maka satu-satunya
cara adalah dengan mempedomani tuntunan-Nya. Al Quran dan As Sunah adalah
rujukan terbaik bagi kita untuk menjalankan amanat Allah itu. Kita harus ingat
apa yang dimuat dalam Al Quran surah Al Anfaal: 27
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.
Dalam wujud detilnya, amanat Allah itu
bisa berupa amanat yang diberikan atau dipercayakan kepada sesorang ditengah
masyarakat. Hal ini mungkin berupa amanat untuk mendidik siswa bagi para
pendidik oleh lembaga pendidikan. Bisa juga berupa amanat untuk menjadi
pedagang atau saudagar yang secara langsung atau tidak langsung oleh masyarakat
diberi kepercayaan memperdagangkan rupa-rupa
komoditi. Atau amanat menjadi wakil rakyat dalam pengertian representasi
politik. Bahkan bisa berupa amanat dalam bentuk apapun yang penunaiannya
merupakan manifestasi makna “rahmatan lil alamin” karena posisinya sebagai khalifah dimuka bumi.
Namun ternyata dalam kehidupan
sehari-hari kita sering menemukan bukti betapa manusia bisa begitu rendah, hina
dan terkadang juga menyedihkan atau malah memuakkan. Sesuatu hal yang
diperkirakan oleh para malaikat, menjelang diciptakannya manusia oleh Allah
yang termaktub misalnya dalam Surah Al Baqarah : 30
Artinya: Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Mengapa semua itu terjadi? Mengapa
terjadi pengingkaran terhadap amanat itu? Jawabnya: Karena manusia saat itu
sedang tidak bisa mengendalikan diri. Sehingga dia jatuh kepelimbahan kehinaan,
yang bisa lebih rendah dari hewan. Sampai titik ini, selayaknya kita mencermati
Surah Al A’raf : 176
Artinya:
Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya
yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya
(juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Idiom
yang gunakan Al Quran menarik dicermati, yakni “anjing yang mengulurkan
lidahnya”. Itulah gambaran sosok yang melulu mengikuti instinknya. Bawaan
primitifnya adalah mengulurkan lidah seperti itu, yang tidak mampu diatasi oleh
akal budinya. Jika diekstrapolasi kepada manusia, “menjulurkan lidah” di situ
maknanya adalah “memperturutkan naluri primitif”, yakni melanggar aturan,
sebagaimana dunia anjing yang tidak mengenal tatakrama, norma, nilai-nilai
sebagaimana manusia.
Itulah
sebabnya, untuk menjaga diri kita agar menjadi manusia yang sebenar-benarnya
“manusia” caranya adalah menerapkan tata laku yang benar sesuai yang digariskan
agama, yakni risalah kenabian yang dibawa Rasulullah saw. Allah telah
menurunkan petunjuk dan metode bagi manusia untuk menemukan jalan keselamatan
itu; dengan mengutus Rasul-Nya, dengan menurunkan Kitab-Nya, dengan keseluruhan
sistem nilai Islam itu.
Yang harus kita lakukan adalah sekuat tenaga mengatasi dorongan primitif untuk
memperturutkan hawa nafsu itu, yang dalam istilah lain disebut “mengikuti
dorongan setan”
Barulah
dengan cara itu kita akan naik kelas menjadi “manusia yang sesungguhnya”, bukan
makhluk yang memperturutkan dorongan primitif atau ‘mengulurkan lidahnya” itu.
Wallaahu a’lam.