Timbul pertanyaan bagaimana menurut Islam tentang adanya anggapan atau keyakinan terhadap adanya bulan Safar sebagai bulan nahas dan sial tersebut?. Apakah Islam membenarkan atau membolehkan adanya anggapan seperti tersebut, dan apakah tidak bertentangan dengan aqidah ?.
Menurut bahasa Safar berarti kosong, ada pula yang
mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab
zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong)
untuk berperang ataupun bepergian jauh. Ada pula yang menyatakan bahwa nama
Safar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh
orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang
di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya.
Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Safar sebagai bulan yang penuh dengan
kejelekan. Pendapat lain menyatakan bahwa Safar adalah sejenis angin berhawa
panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi
sakit.
Bagaimana perspektif banyak orang terhadap bulan Safar? Ada
banyak hal menarik anggapan dan kepercayaan orang banyak terhadap bulan Safar,
di antara yang terpenting dari pemahaman bulan Safar tersebut berkaitan dengan
hari Rabu, terutama Rabu terakhir, yang biasa disebut dengan Arba Mustamir dan
dalam bahasa Jawa disebut Rabu Wekasan. Dalam anggapan masyarakat kesialan
bulan Safar akan semakin meningkat jika bertemunya dengan Rabu terakhir
di bulan yang sama. Sebab, berdasarkan riwayat yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan disebutkan bahwa Allah telah menurunkan 3333 jenis penyakit pada
hari Rabu bulan Safar, sehingga jika keduanya bertemu maka tingkat dan efek
negative (kesialan) yang menyebar pada waktu itu semakin tinggi pula. Itulah
sebabnya maka sebagian kalangan masyarakat yang mempercayainya semakin
meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap hari Rabu bulan Safar . Sehingga
dalam rangka menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
(kesialan), banyak orang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti antara
lain :
1. Shalat sunnat mutlak disertai dengan pembacaan doa tolak
bala
2. Mengadakan selamatan tolak bala kampung,
3. Melakukan mandi Safar untuk membuang sial,
4. Tidak akan melakukan perjalanan atau bepergian jauh
Bermula dari sinilah kemudian muncul berbagai anggapan
berkenaan dengan bulan Safar, yang intinya sama. Bulan Safar sebagai bulan
nahas, bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala dan penyakit, dan
bulan yang harus diwaspadai keberadaannya. Karena pada bulan ini, segala
penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih
besar dan lebih kuat dibanding pada bulan lainnya. Terlebih-lebih lagi tatkala
memasuki hari Rabu terakhir di bulan Safar, yang dinamakan dengan Arba Mustamir
atau dalam bahasa Jawa disebut Arba Wekasan.
Anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan yang tidak baik,
memang dipahami secara umum oleh sebagian kalangan orang Islam di negeri ini
sebagaimana keyakinan dari orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu.
Mengapa mereka beranggapan bulan Safar sebagai bulan panas dan sial?. Konon
sebab-musabab munculnya anggapan seperti itu adalah karena : pada masa
atau kurun waktu ketika ilmu-ilmu magis masih berkembang dan sangat ditakuti
oleh masyarakat yang berada pada zaman tersebut, konon menjadi semacam
kebiasaan dalam masyarakat orang-orang tertentu yang menguasai ilmu sihir
(semacam guna-guna, teluh, santet, atau parang maya) melakukan ritual khusus
untuk mengirimkan ilmunya kepada orang lain dengan tujuan tertentu pada bulan
Safar. Pada bulan Safar katanya ilmu yang mereka lepas tersebut lebih ampuh
dibanding pada bulan yang lain, dan orang yang terkena ilmu itupun akan susah
untuk disembuhkan. Jika tujuan pelepasan ilmu untuk membuat orang yang terkena
sakit maka akan sakit, jika untuk membuat orang terpikat maka akan terpikat,
bahkan keampuhan pikatan tersebut bisa membuat orang yang terkena tergila-gila,
dan seterusnya. Selain itu konon juga para dukun pada bulan tersebut
sengaja melepaskan racun-racun yang mematikan guna mencari mangsanya agar
racun tersebut tetap mempunyai keampuhan.
Kepercayaan tentang hari baik atau buruk itu telah ada
sejak zaman Arab Jahiliyah. Sebagai contoh apabila seseorang itu hendak keluar
rumah dan didapati ada burung terbang atau lalu di sebelah kanan, mereka
mempercayai bahwa seseorang itu tidak akan mendapat bencana dan boleh melakukan
atau meneruskan hajatnya untuk keluar rumah. Sebaliknya jika burung itu terbang
atau melintas ke sebelah kiri, seseorang itu tidak dibolehkan keluar
rumah atau jka dia telah keluar rumah, dia harus kembali ke rumahnya dan
tidak meneruskan hajatnya. Oleh karena yang demikian, menurut mereka
burung itu terbang sebagai petanda dan petunjuk untuk mengetahui tentang baik
buruknya melakukan sesuatu pekerjaan atau sesuatu hajat seperti hendak
keluar rumah.
Di dalam Al-Qur‘an Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah
menceritakan peristiwa kaum ‘Add. Allah Subhanahu wa Ta‘ala membinasakan mereka
karena mendustakan RasulNya dengan menurunkan angin ribut yang kencang yang
berlanjutan sehingga manusia gugur bergelempangan seperti batang-batang pohon
kurma yang terbongkar.
Peristiwa ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta‘ala dalam firmanNya :
Kaum 'Aad pun mendustakan(pula). Maka alangkah dahsyatnya
azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada
mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus,yang
menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang.Maka
alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.
(QS. Al-Qamar : 18-21)
Imam Qurtubi menceritakan bahawa menurut Ibnu Abbas,
peristiwa tersebut berlaku pada hari Rabu yang terakhir bagi bulan itu. Yang
dimaksudkan hari nahas di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta‘ala
membinasakan kaum ‘Add yang kafir dan orang-orang mendustakan Rasul mereka
sahaja. Dengan kata lain Allah tidak membinasakan RasulNya dan orang-orang yang
beriman dengan rasul mereka. Maka peristiwa tersebut tidak ada kena mengena
dengan hari yang membawa bencana, sial dan nahas. (Al-Qurtubi: 17/135)
Dari peristiwa tersebut sebahagian orang mempercayai bahawa
pada hari Rabu yang terakhir bagi setiap bulan adalah hari bala diturunkan.
Maka tidak ada pekerjaan atau kerja-kerja amal pada hari tersebut.
Para ulama mengatakan tidak terdapat satupun hadis
yang sahih mengenai turunnya bala pada hari Rabu atau pada hari Rabu yang
terakhir bagi setiap bulan. Sebahagian ulama mengatakan bahawa hadis-hadis yang
diriwayatkan berkaitan dengan perkara tersebut adalah hadis-hadis rekaan
(maudhu‘) semata-mata.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS.Yunus : 5 _)
Dari ayat tersebut diatas Allah subhanahu wa ta’ala
menjelaskan bahwa peredaran bulan tiada lain semata untuk mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan waktu yang termasuk di dalamnya bulan Safar. Karenanya
hari itu tidak mempunyai sama sekali kekuatan atau kemampuan yang dapat mendatangkan
kesialan bagi manusia.
Apa saja yang terjadi pada diri manusia baik berupa kebaikan
atau keburukan (kesialan) semuanya datang dari Allah azza wa jalla, bukan
datang dari siapa-siapa, bukan datang dari bulan Safar. Sehingga barang siapa
diantara manusia yang beranggapan bahwa bulan Safar sebagai bulan
sial maka ia telah menyamakan kedudukan hari tersebut dengan
Alllah, dan ini termasuk perbuatan syirik. Sepatutnyalah kita sebagai umat yang
mentauhidkan Allah menjauhkan diri dari perbuatan dan perilaku syirik seperti
menganggap atau meyakini bahwa bulan Safar bulan nahas yang dapat
mendatangkan kesialan.
Wallaahu’alam
Terimakasih Ustadz atas penjelasannya.
BalasHapus