Berita yang beredar akhir-akhir ini banyak pengungsian yang
terjadi di daerah selatan bagian dari Indonesia akibat kerusuhan sosial.
Sungguh mengenaskan manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
mereka dapat saling mengenal dan bekerja sama justru berbaku-bunuh dan
baku-bantai. Manusia yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi justru
menjadi pembuat onar dan kerusakan. Manusia diciptakan dalam kejadian yang
paling baik justru memilih menjadi makhluk yang paling hina, lebih hina dari
binatang.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin yang sedang beribadah di tanah suci mengorbankan hartanya dan mempertaruhkan jiwanya melawan dingin yang menusuk tulang di malam hari dan panas yang menyengat kulit di siang hari demi memperoleh ridha Allah. Mereka tanggalkan segala atribut atau embel-embel keduniaan. Kaum muslimin tidak mengenal harta, pangkat, dan kedudukan kala itu. Yang ada dalam benak hanyalah berserah diri kepada Allah agar haji yang sedang ditunaikan diterima oleh Allah.
Keikhlasan demikian hendaknya selalu ada dalam setiap bentuk
peribadatan, baik ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, dan sebagiannya
maupun peribadatan lain seperti bekerja, membantu orang lain, melayani umat,
mengajar, menjalankan administrasi, berdagang, dan lain sebagainya. Keikhlasan
tersebut juga harus ada dalam berbagai pengorbanan agar lebih dekat kepada
Allah swt. Ikhlas dan hanya ikhlas karena karya yang kita hasilkan hanya
dipersembahkan kepada Allah, tuhan semesta alam.
Keikhlasan bukan seperti nafsu, yang selalu muncul setiap
kali ada mangsa. Nafsu selalu muncul karena memang nafsu itu salah satu unsur
dalam sistem kehidupan manusia, yaitu unsur yang berfungsi mempertahankan
kelanggengan sistem tubuh dan unsur intrinsik manusia. Sebaliknya, keikhlasan
harus selalu dipupuk, dievalusi, diperbaiki, dan dipertahankan.
Sungguh menakjubkan keikhlasan yang dicontohkan Ibrahim. Hari
raya Idul Adha sepanjang sejarah selalu dikaitkan dengan pengalaman ruhani Nabi
Ibrahim. Pengalaman ruhani itu begitu spektakuler dalam sejarah. Tak
terbayangkan apa yang akan dilakukan seorang muslim apabila dihadapkan pada
perintah Allah untuk mengurbankan anak sendiri. Keberhasilan Ibrahin kala itu
memang patut dicontoh oleh segenap umat manusia dalam ketaatannya kepada
perintah Allah.
Kisah Ibrahim
Ibrahim adalah anak seorang pemahat patung di kerajaan
Babylonia yang bernama Azar. Sejak kecil daya fikir kritisnya sudah nampak.
Ketika melihat sesuatu yang tidak masuk akal, fikirannya langsung berontak.
Tercatat dalam kitab, meskipun penuh resiko, dan tidak dapat menerima kenyataan
bahwa ayahnya memahat batu menjadi patung, lalu menyembahnya. Dia berontak lalu
ditangkap dan dihukum bakar. Atas pertolongan Allah ia selamat dan lari ke arah
barat, daerah Kana’an, tepatnya Palestina Selatan.
Dari Kana’an dia pindah ke Mesir karena adanya bencana
kesulitan pangan. Dengan istrinya, Sarah, dia tinggal di negeri tersebut untuk
sementara. Karena terkesan oleh beliau, raja Mesir waktu itu, Fir’aun,
memberikan hadiah seorang budak, yang bernama Hajar. Hidup bersama Sarah yang
sudah cukup lama dalam sejarah dikatakan sampai mereka tua belum dapat
membuahkan seorang pun anak. Begitu rindu akan keturunan, Ibrahim pun berdoa
kepada Allah agar diberi. Begitu besar pengertian istrinya, Sarah, kepada
Ibrahim ia mengajurkan untuk memperistrikan Hajar. Dari perkawinan dengan
Hajar, Ibrahim mendapat seorang putra yang diberi nama Ismail.
Di dalam Al Qur’an diceritakan bahwa atas bimbingan malaikat
Ibrahim membawa Ismail dan Hajar ke arah Selatan dari Kana’an dan terus ke
Selatan sampai ke lembah tandus dan gersang, tanpa tetumbuhan (QS.
Ibrahim/14:37). Hal tersebut dikarenakan Ibarahim tampak sangat mencintai
Ismail dan Hajar sehingga Sarah meminta Ibrahim membawa anak dan ibu itu keluar
rumah. Wajar, mungkin karena cemburu dan mungkin agar pemandangan Ibrahim
mencurahkan kasih sayang kepada Hajar dan Ismail tidak terlalu menusuk ke hati
Sarah. Setelah mengantarkan anak Ismail dan Ibunya, atas petunjuk Ilahi, Ibrahim
kembali lagi ke Kana’an, sesekali Ibrahim pergi menjenguk Ismail.
Subhanallah, di balik penderitaan hajar dan Ismail ternyata ada rahmat
tersembunyi. Tentu itu semua sudah rencana Allah karena di lembah yang gersang
itu nantinya terletak rumah suci pertama kali yang didirikan untuk umat manusia
(QS. Qli Imran/3:96).
Lembah itu diberi nama lembah Bakka atau Makkah. Kala itu
rumah suci itu belum ada. Baru setelah diperintahkan oleh Allah Ibrahim dan
anaknya membangun rumah suci tersebut ( QS. Al Baqarah/2: 127). Karena
bentuknya yaitu persegi empat maka rumah suci itu dikenal dengan sebagai Ka’bah artinya “Kubik”. Dalam satu periode
sejarah, di lembah itu pula Ibrahim menyampaikan kepada Ismail bahwa ia
menerima perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Ismail pun dengan rela
mendorong ayahnya untuk menjalankan perintah itu meskipun kemudian Allah
menggantikannya dengan binatang untuk disembelih setelah terbukti Ibrahim patuh
tanpa reserve.
Karakter Berkurban
Kalau saja masyarakat muslim yang sedang carut marut berbaku
hantam, penguasa yang keruk kekuasaan, dan pengusaha yang rakus dapat melakukan
pertaubatan dan meneladani karakter Ibrahim yang rela berkorban , tulus
berbuat, dan selalu mencari kebenaran untuk diikuti, niscaya bangsa ini menjadi
baik. Namun watak tidak dapat dipelajari dengan sekejap. Watak terlebih lagi
watak ikhlas berkorban, harus dibangun dengan penuh kesabaran melalui
pendidikan dan latihan yang panjang. Memang berat tetapi sangat mulia. Sungguh
mudah mengumbar angkara murka dan sifat durjana. Bahkan ada kecenderungan
sekarang, kejahatan dihentikan dengan kejahatan yang lain, kejahatan yang baru
dan lebih sadis. Orang memiliki kejahatan kecil, semisal mencuri, oleh massa
yang beringas dan dikuasi syaitan dibakar hidup-hidup. Orang yang menabrak tak
sengaja dibantai ramai-ramai. Sungguh keji, kejelekan ditimpa kesadisan.
Apakah tidak bisa kejahatan dibalas dengan nasehat? Apakah
mustahil, kecurangan dibalas dengan keadilan? Apakah hina menyambut kesombongan
orang dengan keramahan? Kuncinya adalah ketulusan dalam berkorban. Mengapa kita
tidak bisa mengorbankan keangkuhan kita untuk menuju ketakwaan. (QS
Fushilat/41: 34).
Ajaran berkorban yang dilambangkan dengan penyembelihan hewan
memiliki makna yang dalam. Bermula dari ujian kepatuhan dan keikhlasan Ibrahim
dalam menjalankan tugas dari Allah lalu berkembang menjadi media pendidikan
untuk mencapai ketulusan dalam berbuat. Dengan mengikhlaskan harta yang ada
pada kita yang sudah ada kita belikan hewan. Di depan mata hewan itu disembelih
untuk dibagi-bagikan kepada orang banyak. Yang diharapkan bukan pujian atau
jabatan tangan dari orang melainkan kedekatan kepada Allah. Dengan keikhlasan,
segala sifat dengki dan pelit terhapus. Dengan sifat penuh perhatian kepada
orang lain yang dilanjutkan dengan amal yang bersifat proaktif, pribadi muslim
akan terlatih ikhlas. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya
menyinari dunia.
Namun perlu diingat, hari raya yang hanya sekali dalam
setahun hanyalah media formal untuk menempa diri. Selain itu, masih diperlukan
usaha-usaha lain untuk melatih diri dengan lebih banyak berkorban, memberikan
harta, memberikan senyum,memberikan kasih, dan memberikan cinta kepada sesama.
Cintailah yang ada dibumi, maka kita akan dicintai oleh yang ada dilangit.
Bukan bendanya yang penting dalam memberi tetapi kasih yang tulus serta cinta
yang dalam yang lebih berarti. “Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya” (QS. Al-Hajj/22: 37). ”Sesungguhnya
Allah tidak melihat bentuk luarmu dan harta bendamu, tetapi Dia melihat hatimu
dan perbuatanmu” (Hadits Muslim, Mukhtashar No.17776).
Apabila memang ingin mendapat kasih sayang dari Allah tentu
lah manusia harus selalu berbuat untuk orang lain, berkurban dan berlaku tulus
ikhlas lillaahita’ala agar menjadi karakter, watak yang kuat menjadi
ciri pribadi. ”Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya"(QS. Al-Kahfi/18: 110).
Wallaahu a’lam bishshawaab