UPT. Al-Islam & Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Pontianak

MENYINGKAPI RAHASIA QURBAN

Peristiwa sejarah yang menandai hari raya 'Iedul Adl-ha adalah tugas berat yang dibebankan Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. agar beliau menyembelih puteranya, Nabi Isma'il as. Dalam surat Ash-Shafaat ayat 100 - 106.
Allah swt. berfirman: "Ya Tuhanku, anugerahilah aku anak yang saleh. Kemudian Kami berikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang penyantun. Setelah anak itu dapat melakukan usaha bersamanya, Ibrahim berkata kepadanya, "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku menyembelih engkau. Maka pertimbangkanlah bagaimana pendapatmu?" Sang anak menjawab, "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan itu. Niscaya ayah akan mengetahui bahwa diriku termasuk orang-orang yang sabar, insya Allah". Maka ketika keduanya telah mematuhi perintah Allah dan pipi sang anak sudah ditempelkan di atas tanah, maka Kami berseru kepadanya: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah mematuhi perintah berdasarkan mimpi itu!" Dan sesungguhnya dengan cara seperti itulah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya peristiwa ini adalah suatu ujian yang nyata!" Untuk menangkap hikmah-hikmah dari peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as. tersebut, kita dapat menelusurinya dari beberapa segi, yaitu: Pertama : Dari segi jenis perintah Kedua : Dari segi yang diperintah Mengenai jenis perintah Dapat kita ketahui bahwa perintah yang dibebankan oleh Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. sangat irasional atau sangat tidak masuk akal. Betapa tidak, orang disuruh menyembelih puteranya sendiri. Kalau kita mencoba menganalisanya secara rasional atau secara akal pikiran, kemungkinan kesimpulan kita akan meleset dari kebenaran. Bahkan kita akan menuduh bahwa ayat tersebut tidak masuk akal, sehingga kebenarannya perlu dipertimbangkan dan ditinjau kembali. Kesimpulan dari analisa kita tidak akan meleset, jika sebelumnya kita sudah menyetujui dan meyakini bahwa tidak selamanya perintah-perintah Allah itu harus rasional atau dapat masuk akal. Atau dengan lingkup pembahasan yang lebih luas, tidak selamanya aturan-aturan yang terdapat dalam agama Islam itu sesuai dengan akal fikiran. Banyak aturan-aturan ritual atau peribadatan dalam agama Islam yang tidak masuk akal, yang oleh para ulama disebut ta'abbudiy, atau ibadah mahdlah atau ibadah murni, yaitu hal-hal yang mengatur hubungan antara manusia dengan Penciptanya (Khaliqnya). Sedang peraturan-peraturan yang bertalian dengan masalah sosial yang disebut dengan "ibadah ghairu mahdlah" atau ibadah yang tidak murni atau ibadah sosial adalah bersifat rasional atau sesuai dengan akal fikiran. Oleh karena itu akan meleset hasilnya, jika ibadah mahdlah seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya, Nabi Isma'il di atas dianalisa dengan pendekatan rasional. Kini timbul pertanyaan, yaitu: Kalau seluruh firman Allah itu tidak ada yang sunyi dan sepi dari faedah, maka apakah faedahnya Allah memerintahkan makhluk-Nya dengan perintah yang tidak masuk akal dan tidak dapat difahami oleh makhluk itu sendiri? Di sinilah Allah mengakhiri kisah tersebut dengan berfirman: “Sesungguhnya hal ini adalah merupakan ujian yang nyata.” (Ash-Shafaat:106) Yaitu ujian kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as., sampai di mana keduanya mau melaksanakan perintah Allah, meskipun perintah tersebut tidak dapat dipahami maksudnya. Mengenai segi yang diperintah Apabila perintah Allah tersebut adalah merupakan batu ujian terhadap Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as., maka pertanyaan yang mungkin timbul adalah: Untuk apa Allah masih juga menguji Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as.? Bukankah kedua Nabi tersebut orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sendiri? Apakah keduanya mungkin lulus atau gagal dalam menghadapi ujian tersebut? Jawabnya ialah bahwa tentu kedua Nabi tersebut pasti lulus dalam menghadapi ujian, karena keduanya adalah orang-orang yang sudah dipilih oleh Allah! Akan tetapi untuk apa kedua Nabi tersebut masih diuji? Di sinilah kita dapat menangkap hikmah yang agung dalam peristiwa tersebut. Kalau nabi pilihan Allah itu masih juga mendapat ujian hidup, maka kita sebagai makhluk biasa yang bukan pilihan ini, tentu lebih layak untuk mendapatkan ujian-ujian dari Allah. Allah swt mungkin menguji makhluk-Nya dengan ujian yang pahit atau ujian yang manis, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al Mulk ayat 2 yang berbunyi: “Allah yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” Dalam menghadapi ujian-ujian ini, kita sendirilah yang akan menjawabnya, apakah akan lulus atau gagal dalam menghadapi ujian-ujian dari Allah swt. Yang jelas, semakin teguh seseorang mengikuti ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, semakin banyak kemungkinan ia sukses dalam menghadapi ujian. Dan semakin jauh seseorang dari ajaran-ajaran agama, semakin tipis pula kemungkinan untuk dapat sukses dalam menghadapi ujian dari Allah swt. Perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, bahwa manusia itu semakin ta'at kepada perintah Allah swt., akan semakin pedih dan berat ujiannya; dan semakin dekat seseorang kepada Allah swt., akan semakin besar pula ujian yang ditimpakan Allah kepadanya. Pernah Nabi Besar Muhammad saw. ditanya oleh sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash tentang orang yang paling pedih dan berat ujiannya di dunia ini, beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang yang seperti nabi, lalu orang-orang yang seperti mereka..” Oleh karena itu, tidaklah layak bagi seseorang untuk mengharapkan karunia dari Allah swt., sebelum dia tahan dan lulus dari ujian-ujian hidup yang ditimpakan kepadanya. Ketika ada sekelompok orang yang datang kepada Nabi dan menyatakan sebagai orang-orang mukmin, kemudian datang menimpa mereka ujian dari Allah swt., yaitu mereka dihadang oleh orang-orang kafir yang ingin membunuh mereka, sehingga mereka merasa kesal, sebab mereka sudah merasa sebagai orang-orang yang beriman, mengapa pula masih mendapat ujian hidup. Maka turunlah firman Allah: Alif, Laam, Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: "Kami sudah beriman" tanpa mendapat cobaan? Sesungguhnya Kami telah mencoba (menguji) orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui, mana orang-orang yang benar-benar beriman dan mana orang-orang yang dusta. (Q.S.al Ankabut: 1-3). 
Wallaahu a’lam bishshawaab
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sukkron